Senin, 02 Juli 2012

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM NAHDLATUL ULAMA

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
NAHDLATUL ULAMA
Oleh: A. Anton Patoni

A.    Latar Belakang Masalah
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
B.    Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis mencoba untuk merumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama?
2.    Siapakah tokoh-tokoh yang berperan dalam ormas Nahdlatul Ulama?
3.    Bagaimana pendidikan di Nahdlatul Ulama?
4.    Bagaimana pengaruh pendidikan NU terhadap masyarakat?
C.    Tujuan
Tujuan dari disusunnya makalah ini, selain untuk memenuhi salah satu tugas akhir mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam juga untuk mengetahui sejarah berdirinya NU, tokoh-toko yang berperan di NU, pendidikan NU dan pengaruh pendidikan tersebut terhadap masyarakat Indonesia umumnya, khususnya untuk masyarakat di daerah Kp. Karangsambung, Ds. Karangsembung, Kec. Jamanis, Kab. Tasikmalaya.


A.    Sejarah Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama disingkat NU, yang merupakan suatu jam’iyah Diniyah Islamiyah yang berarti Organisasi Keagamaan Islam. Didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia dewasa ini. NU mempersatukan solidaritas ulama tradisional dan para pengikut mereka yang berfaham salah satu dari empat mazhab Fikih Islam Sunni terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nu dahulu dan kini terutama masih berada di pesantren.
Sebagai latar belakang terbentuknya organisasi NU ini adalah gerakan pembaruan di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya dengan munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam. Sementara di Turki bangkit gerakan nasionalisme yang kemudian meruntuhkan Khalifah Usmaniyah.
Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912). Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul  Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.
Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah, yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa, termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang mendesak. Hasyim As’ari (1871-1947) Kyai dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani menyetujui permintaan mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya atau ro’is akbar.
Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:
1.    Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab sunni
2.    Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaran ahlusunnah wal-jama’ah
3.    Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaiannya dengan ajaran ahlusunnah wal-jama’ah
4.    Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
5.    Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
6.    Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam
Dari analisis ke enam khittah itu penulis menganalisis bahwa ada satu khittah yang tidak ada hubungannya langsung dengan kehidupan kaum ulama secara khusus, itu terdapat pada poin no 6.
Dengan demikian pengaruh ulama sangat besar dalam NU, dan telah mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya NU adalah Jam’iyyah Diniyyah yang membawakan faham keagamaan, sehingga yang menjadi mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal-jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.
Selanjutnya akan dijelaskan sekilas tentang lambang NU, lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai lambang sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad, empat bintang kecil, masing-masing dua disebelah kanan dan kiri bintang besar, melambangkan empat khulafa’al-Rasyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan empat Imam Mazhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga bermakna sembailan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam di jawa. Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan, yaitu bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan dirinya manusia akan kembali dan manusia akan dibangkitkan pada hari pembalasan. Tali kekemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan melambangkan 99 nama-nama indah Tuhan, yang dengannya seluruh muslim di dunia disatukan.
B.    Tokoh-tokoh yang berperan di NU
Terdapat sepuluh tokoh yang berperan penting di NU, yang kesepuluhnya itu memiliki peranan masing-masing dalam berdirinya dan dalam perkembangan NU yang menjadi ormas terbesar di Indonesia. Kesepuluh tokoh itu adalah:
1.    Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari
2.    Abdul Wahab Chasbullah
3.    Bisri Syansuri
4.    K.H. Ahmad Shiddiq
5.    K.H. Wahid Hasyim
6.    K.H. M. Ilyas Ruhiat
7.    K.H. M.A. Sahal Mahfudz
8.    K.H. Idham Chalid
9.    Ali Ma’shum
10.    K.H. Abdurrahman Wahid
C.    Pendidikan di NU
Keberadaan pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren. Para kyai pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwu-sharaf, jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Pada perkembangan selanjutnya, kira-kira setelah kemerdekaan, terjadi pengembangan model pendidikan di pesantren. Hal ini berawal dari realitas bahwa tidak semua santri yang keluar dari pesantren itu mampu menjadi kiai, sementara mereka tetap membutuhkan ranah pendidikan, akhirnya mereka mendirikan sekolah-sekolah di kampung yang bernama madrasah. Jadi madrasah itu sebenarnya keberlanjutan dari pesantren. Di madrasah, materi keilmuan yang diajarkan pada awalnya sama dengan yang ada di pesantren, bedanya kiai tidak berada dalam lingkup madarasah, tidak seperti pesantren yang memiliki ciri-ciri; ada santri, kitab kuning, kiai, pondokan, dan masjid.
Dalam konteks pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama melembaga bagi masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan. Keberadaan NU hingga saat ini selalu ditopang oleh pesantren. Dari pesantren basis kekuatan NU dibangun dengan banyak melahirkan para ulama dan kiai, yang kemudian membentuk jama’iyah NU dan berjuang di dalamnya. Pondok pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat. Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831, di Jawa terdapat tidak kurang dari 1.853 buah pesantren dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 orang. Suatu survey yang diselenggarakan kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa Jepang pada 1942, jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah, jumlah tersebut belum ditambah dengan pesantren di luar Jawa dan pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus bertambah. Berdasarkan laporan Departemen Agama RI pada 2001, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 12.817 buah.
Beberapa pihak memahami bahwa dunia pesantren adalah dimensi yang sulit berubah, dan itu selama ini dianggap sebagai simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan (stagnasi). Padahal pesantren memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa berubah, mempunyai dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Demi meminimalisasi problem pendidikan pesantren, dibutuhkan keberanian diri untuk melakukan rekonstruksi dalam artian positif, yakni membangun pesantren berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri pesantren. Rekonstruksi tersebut tidak harus merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga dalam pengertian yang luas, juga tidak perlu mengorbankan nilai-nilai seperti keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, kemandirian dan optimisme.
Untuk lembaga pendidikan formal (sekolah/madrasah) di NU, penanganannya telah diserahkan kepada LP Ma’arif. LP Ma'arif sebagai garda depan yang ikut menentukan wajah SDM NU, sering tidak terlibat langsung dalam proses kependidikan Islam di pondok pesantren baik yang formal seperti madrasah/ sekolah maupun non formal seperti pesantren. Semua kegiatan di pondok pesantren dikelola langsung oleh kiai atau yayasan yang sengaja dibentuk untuk itu.
Potret pendidikan NU umumnya untuk keperluan si’ar islam, yang penting ramai, persoalan kualitas tidak terlalu dikedepankan, itu disebabkan karena pendirian sekolah/madrasah atas inisiatip masyarakat, jadi penanganan pedidikannya pun sangat sederhana. Namun dengan tuntutan zaman, pendidikan NU mulai berbenah diri untuk lebih baik, dengan jumlah lembaga pendidikan yang sudah banyak diharapkan lembaga pendidikan tersebut menjadi lebih baik lagi. Arah pengembangan dari pendidika NU mulai disesuaikan dengan pengembangan potensi seperti di sekolah-sekolah pada umumnya.
Pandangan buruk, kumuh, tidak dikelola dengan baik dari masyarakat hingga sekarang masih terjadi, bahkan yang lebih ekstrim lagi menuduh madrasah sebagai tempat pelatihan teroris. Padahal cita-cita NU adalah mengelola madrasah sebagai pusat keunggulan, seperti: dalam hal mental-spirital atau perilaku yang baik. Selain itu juga madrasah diharapkan sebagai mobilisasi pergerakan public, menghasilkan lulusan yang bersikap toleran dan lain sebagainya.
Dalam persoalan keilmuan, pendidikan NU-Ma’arif yang memang lebih menekankan keilmuan keagamaan, sering terjebak dalam persoalan dikotomisme keilmuan (agama dan umum); seolah yang lebih penting adalah keilmuan agama dan keilmuan umum dianggap tidak penting, karena tidak dipertanyakan di hari Khisab (perhitungan) nanti. Menurut Aceng Abdul Azis, Jika ditelusuri ke belakang, paradigm dikotomi Pendidikannya semakin menonjol karena terlembaganya format struktural birokrasi Pendidikan Nasional (Diknas) dan Pendidikan Agama (Depag), ini akhirnya berpengaruh pada terpeliharanya persepsi dan tradisi pendidikan yang dikotomis agama-umum di Indonesia.
Rupanya fakta itu pula yang berkontribusi besar pada terciptanya setting pendidikan NU hingga sekarang yang berkonsentrasi pada pendidikan pesantren, diniyyah, majlis ta’lim, madrasah dan perguruan tinggi agama, seolah-olah mempertegas jati diri NU sebagai jam’iyah diniyyah. Padahal dalam tinjauan historis, NU telah mengkritik keras terhadap faham dualisme ilmu tersebut. KH. Wachid Hasyim misalnya, menyatakan bahwa pendidikan Indonesia yang dikotomik merupakan warisan penjajah Belanda dan sangat berbahaya bagi umat Islam.
Pendidikan yang dikotomik hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral dan ulama-ulama yang tak mengenal zamannya. Untuk itulah, secara gigih Wachid Hasyim menyarankan agar setiap lembaga pendidikan mempunyai strategic planning yang mencakup tiga hal:
1.    Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya,
2.    Menggambarkan cara mencapai tujuan itu,
3.    Memberikan keyakinan dan cara, bahwa tujuan yang disusun tersebut dapat tercapai dengan sempurna.
D.    Pengaruh Pendidikan NU di masyrakat Kp. Karangsambung, Ds. Karangsembung, Kec. Jamanis, Kab. Tasikmalaya. (Narasumber H. Ranu Sanjaya)
Sekilas membahas sejarah berdirinya NU di daerah tersebut berawal dari berdirinya pondok pesantren Miftahul Huda, yang didirikan oleh bapak KH. Lukma Abdul Halim (alm) bersama bapak H. Ranu Sanjaya sebagai tokoh masyarakat di daerah tersebut, berdirinya itu sekitar tahun 1970. Pondok pesantren tersebut bernotabeb NU dengan paham Ahlussunnah Waljam’ah. Sistem pembelajaran di pondok pesantren tersebut masih dalam bentuk pondok pesantren salafi yang mengajarkan kitab kuning. Selain kitab kuning, yang menjadi ciri khas ajaran pondok pesantren itu adalah Dzikir, Shalawat, dan ilmu kebatinan. KH. Lukman Abdul Halim dikenal dengan sebutan “kang ajengan” karena di daerah tersebut istikah ustadz dikenal dengan ajegan. Beliau merupakan lulusan dari podok pesantren Cipasung Singaparna dan pondok pesantren Keresek Garut.
Setelah KH. Lukman Abdul Halim wafat, pondok pesantren itu dilanjutkan oleh anaknya yang benama kyai Asep Marfu Abdul Halim beserta menantunya kyai Oman Solahudin. Namun sekarang pondok pesantren tersebut menambah jenjang pendidikannya dengan Madrasah Diniyyah dan majlis ta’lim untuk masyarakat sekita.
Pengaruh pendidikan yang bernotabene NU terasa sangat kental sekali di daerah tersebut, contohnya seperti tahlilan, shalawatan, ziarah kubur, serta ritual-ritual lain yang bernafaskan NU. Dalam segi pemikiran masyrakat disana juga terpengaruhi oleh paham NU yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu pemikiran masyarakat tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Berikut hasil dari wawacara dengan tokoh masyarakat di daerah Kp. Karangsambung, Ds. Karangsembung, Kec. Jamanis, Kab. Tasikmalaya.







DAFTAR PUSTAKA
•    Nahdhatul Ulama _ Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) _ MasBied.com.htm
•    Nahdlatul_Ulama.htm
•    Sepuluh-Tokoh-Berpengaruh-Nu-Dari-Hasyim-Asyari-Sampai-Presiden-RI.htm
•    SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA” «.htm
•    Narabumber Bapak H. Ranu Sanjaya.

Tidak ada komentar: